twitter

Pondok Bunga Kartika


h’Ru
September’2011


“Baim, ke sini sebentar...” sahut mama.
“Apa, Ma?”
“Sini dulu...  Kemarin mama lupa membeli bunga yang baru, bunga yang ini sudah mulai layu tuh. Tolong belikan mama bunga segarnya yah.”
“Haduuuhh... Ma, ini masih pagi, Baim belum mandi. Lagipula ini di dalam rumah, gak mesti segar terus kan bunganya.”
“Jangan banyak alasan ah, Mama gak suka ada bunga yang layu. Pokoknya tolong kamu belikan bunganya, tokonya di ujung jalan sana, ini uangnya,” ucap Mama seraya memberikan sejumlah uang.
“Maaaa........” keluhku.
Mama memang tak pernah suka dengan bunga yang layu. Ia akan segera mengganti bunga layu dengan bunga segar sesegera mungkin. Mama menurutku terkena maniak bunga, ia sangat terobsesi dengan bunga. Apalagi bunga tulip putih, ia sangat mengagumi bunga itu. Ah, apa bagusnya sih bunga tulip putih? Menurutku biasa saja. Bila ada satu bunganya saja yang rusak oleh orang lain, ia akan murka, semurka dewi mengetahui pengkhianatan para pemujanya.
Dengan wajah lusuh, tertekuk, seperti kertas ulangan bernilai buruk. Ku susuri jalan yang masih terasa asing bagiku. Sebenarnya dimana ujung jalan ini, sedari tadi aku belum menjumpai ujung dari jalan yang mulai tersinari matahari ini. Tunggu, ujung jalan? Bukankah jalan itu tak berujung? Oh Tuhan... bodohnya aku. Jalan tak pernah mempunyai ujung, kecuali jalan itu buntu! Bagus. Dan karena ketakikhlasanku menjalankan misi ini, buntutnya aku menjadi lupa nama toko bunga itu. Dan aku tak membawa ponselku pula. Dan di sini tak ada seorangpun terlihat olehku. Sial.
Ku rasa mungkin aku tersasar. Masuk ke dimensi lain, mungkin dimensi alam ghaib. Pasalnya sejak tadi aku tak menemukan satupun toko bunga di sepanjang jalan ini. Dan yang lebih mengenaskan adalah karena ku telah berjalan selama satu jam, mungkin lebih. Untung saja ini hari sabtu, aku tak perlu takut untuk telat berangkat sekolah.
Harapanku untuk menjumpai toko bunga yang disebutkan Mama sudah mulai pudar. Aku terlalu lelah untuk melangkah lagi. Bahkan ku rasa untuk balapan dengan seekor siputpun aku tak mampu. Bak buah simalakama. Jika aku pulang tanpa bunga tulip putih, maka Mama akan memakiku habis-habisan, dan itu akan membuat telingaku memerah lalu putus. Dan jika aku melanjutkan mencari toko bunga itu, kemungkinan besar aku akan semakin tersesat, dan bisa saja ada orang jahat menculikku lalu menjadikanku sebagai budak atau diambil beberapa organ tubuhku, dan yang lebih parah aku bisa mati.
Saat sisa-sisa harapan mulai menguap teraliri hangatnya matahari yang beranjak tegak. Saat jalanan seakan semakin sempit dan berduri. Saat bayanganku mulai lusuh membayangkan Mama sedang memarahiku. Saat huruf-huruf berusaha bersalto membentuk nama toko bunga. Saat debu-debu mulai manja menggelayut di kulitku. Saat itu mataku menangkap sinyal keberhasilan. Misiku akan berhasil. Aku akan terbebas dari jerat hukum Sang Ratu Tulip Putih. Aku merasa sangat beruntung. Dan aku merasa Tuhan itu memang benar akan selalu menolong umatnya yang sedang terjepit antara hidup dan mati.
“Pondok Bunga Kartika” tertulis indah dengan gaya klasik di papan kayu itu. Papan kayu yang ada di seberang jalan tempatku terduduk berputus asa. Bisa-bisanya aku tak melihat keberadaan papan nama itu sedari tadi. Setidaknya aku telah bodoh menghabiskan 10 menitku di tempat ini untuk berimajinasi tentang kegagalanku mencari toko bunga.
“Mesti masuk gang sejauh 65 meter lagi! Oke, siap. Aku tak akan menyerah, aku tak akan menyia-nyiakan pengembaraan yang telah aku lewati. Selangkah lagi misiku berhasil! Semangat, Baim!” batinku menyemangati raga yang mulai pucat ini.
Asing, asing, asing. Aku memang masih merasa asing dengan tempatku berjalan ini. Dan akhirnya aku berdiri di depan “Pondok Bunga Kartika” juga. Huh, misi yang cukup menguras tenagaku.
“Pondok Bunga Kartika, kau hampir membuatku mati!” batinku.
Dan saat mataku menyusuri seluruh lekuk tubuh “Pondok Bunga Kartika”, aku tertegun. Ku rasa ragaku membeku. Oh tidak, jiwaku pun ikut membeku. Bak ada badai salju turun di cuaca yang cerah tadi, dan itu hanya padaku. Harapan dan semangat yang baru saja terpintal lagi tadi kini melebur kembali.
“Tokonya tutup..... Ooh, Tuhaaaaaaannnnn....... apakah Kau tega padakuuuu??????” teriakku ketika melihat gembok melekat di pagar toko yang lebih mirip kebun itu.
Sepertinya suara bass-ku menembus dinding-dinding rumah di sisi kiri dan kananku. Pasalnya beberapa warga langsung keluar rumah sesaat setelah teriakanku. Ada ibu dengan daster batik merah menyala yang sepertinya baru saja selesai mandi keluar dari balik pintu. Ada ibu yang melongok dari jendela kamarnya. Ada bapak dengan ayam di ketiaknya yang melihatku dengan mata yang hendak loncat. Ada mas-mas yang sedang mencuci motor langsung terkaget-kaget hingga ia bukan lagi menyemprot motornya, tapi menyemprot tembok rumahnya. Ada beberapa gadis yang sedang asyik ber-facebook kini memandangku dengan penuh tanda tanya, bisa ku tahu itu karena tadi aku melewati mereka dan mereka bergosip tentang status pemuda idaman mereka, dan ku rasa mereka akan menulis status “dha cwok gokil pake kolor teriak2 dpan humz neh.. bau age, lum mndi kalee yuaaa... -_- py ganteng uga cii.. hihi.”
Harkat dan martabatku jatuh. Terhempas sang angin kemarau menuju kota mati di negeri antah berantah. Bahkan bayangankupun merasa malu, ia meninggalkanku sendiri diantara sorot mata-mata penduduk. Aku malu. Dingin di sekujur tubuhku. Kelu.
“Ada apa, Dek?” tegur seorang ibu seraya menepuk bahuku dari arah belakang.
“Astaghfirullahaladzim!!” ucapku terhentak kaget.
“Adduuhh... kenapa ini?” ujar ibu itu dengan kedua tangan memegang pipinya, akibatnya ia menjatuhkan kantong belanjaannya karena cemas.
“Maaf, Bu.. maaf..  Aa..aaanu... Poo..poo..pondok Bunga Kartikanya tutup yah, Bu?” tanyaku terbata-bata.
“Ooohh... Pondok Bunga toh... iya tutup, Dek. Kenapa, mau belanja di situ?”
“Iya,” ucapku lirih.
Hancur semuanya. Harapan yang telah terbit dari tidurnya kini terbenam kembali. Mengunci diri di dalam gua tak bertuan. Bersemayam bersama para kelelawar langka.
“Tapi kalau Adek mau belanja, Adek tinggal ke rumah yang punyanya saja. Rumahnya ada di sana,” ujar ibu berdaster biru ini seraya menunjuk rumah bercat hijau.
Aku segera menuju rumah yang tepat bersampingan dengan lapangan sepak bola itu. Rumahnya tak jauh, hanya berselang 7 rumah saja dari toko bunganya. Ketika di depan pagar rumahnya aku benar-benar yakin kalau ini adalah rumah pemilik toko bunga itu. Itu terlihat dari tamannya yang dipenuhi bermacam-macam bunga cantik.
“Ada apa ya, Mas?” tanya seorang gadis dari dalam pagar mengagetkanku.
Aku tertegun, kembali. Inikah makhluk yang sering disebut sebagai bidadari di cerita-cerita? Inikah gadis yang diceritakan sebagai putri di dongeng-dongeng? Inikah gadis yang mewarisi rahasia kecantikan para dewi? Oohh, Tuhan. Ciptaan-Mu amatlah sangat mengagumkan. Gadis yang kini berdiri di hadapanku dengan jarak 53 cm saja hampir mendekati sempurna, setidaknya sempurna di mataku yang hina ini. Alisnya yang melengkung bak pelangi, matanya yang bersinar, hidungnya, bibrnya, pipinya, rambutnya.
“Helllooooo.... Mas.. Mas”
“Oohh.. maaf, Sayang. Ups!”
“Hah, apa?”
“Bukan, bukan apa-apa... hehe.”
Sesaat setelah kecanggunganku menghadapi gadis yang mungkin terlukis dalam mimpiku, terlukis bersama para burung cendrawasih di tengah hamparan rumput hijau, disoroti sinar jingga sang surya. Aku segera menyampaikan maksud kedatanganku. Lalu dengan senang hati dia melayaniku untuk membeli bunga tulip putih favorit mamaku. Aku berusaha mengajaknya berbincang lebih dengan beberapa pertanyaan yang sebenarnya aku tak mau tahu, yakni tentang arti warna bunga.
“Terimakasih yah, maaf telah mengganggu istirahatmu. Oh iya, namaku Ibrahim Prasetyo. Panggil saja Baim.”
“Kartika, Kartika Khoirunnisa. Jangan lupa berkunjung lagi ya,” jawabnya dibubuhi senyuman manisnya.
“Siaaapp, Nona. Aku pasti datang lagi. Hehe.”
Setelah menempuh jalan yang amat sangat cukup jauh, akhirnya aku dapat menyelesaikan misiku juga. Dan yang terpenting adalah aku bertemu dengan seorang gadis yang “waaah”. Berjalan lagi dan lagi. Tapi perjalanan pulang ini tak membuatku merasa terlalu lelah. Mungkin karena aku terus memikirkan Kartika, anak pemilik toko bunga itu. Jadi, jalananpun tak terasa. Senyumku terkembang selama perjalanan pulang, bak orang gila.
“Maaa... Mamaaaa... ini bunganya.”
“Baim, kamu kemana saja? Beli bunganya kok lama sekali?” tanya Mama dengan raut muka bingung penuh tanda tanya.
“Ya ke toko bunga yang Mama kasih tahu. Mama jahat sama Baim, toko bunganya jauh bangeeeetttt.....” protesku.
“Hah, jauh?” respon Mama dengan muka terheran-heran.
Karena aku yang terlalu lama membeli bunga, akhirnya Mama telah membeli bunga tulip itu sendiri. Dampaknya aku diceramahi Mama berjam-jam.  Usut punya usut ternyata toko bunga yang Mama maksud bukan Pondok Bunga Kartika, melainkan Putri Florist. Putri Florist berada di ujung jalan depan, ujung jalan yang Mama maksud ialah belokan jalan, lalu masuk ke gang lagi sekitar 20 meter. Yang fatal ialah arah yang aku ambil sewaktu keluar rumah. Aku mengambil ke arah kiri rumah, sedangkan Putri Florist sendiri ke arah kanan rumah. Bodoh. Malu. Baim yang ganteng tiada tara ini salah mengambil jalur. Maklum, baru 7 hari kami menempati rumah ini. Dan aku belum sempat berkeliling meninjau daerah sekitar, aman atau tidak aman.
Ternyata walau misiku berhasil, efek buah simalakama masih tetap berlaku. Malah sepertinya kedua efek buruknya ku dapatkan. Betapa aku telah berjuang untuk berkelana, menghadapi berjuta rintangan hingga aku hampir mati dibuatnya. Dan  kini aku harus menerima rentetan kalimat yang tiada henti di gendang telingaku, kelu. Tapi tidak apa-apa, masih ada hal yang sangat baik yang aku peroleh, bertemu Kartika. Walau dengan kostum sehabis bangun tidur aku bertemu dengannya. Dan mulai hari ini jika Mama akan membeli bunga tulipnya, aku akan dengan senang hati bersedia membelikannya. Tentu saja di Pondok Bunga Kartika. I Miss You, Kartika.