twitter

Aku, mimpiku, dan memoriku.

Denting jam terdengar amat lantang, tadi malam.
Berteman gelap dan bersahabat sepi.
Aku.
Kembali memutar memoriku.
Memori abu itu, kawan.


Mimpiku, 2 hari kemarin.
Tentangnya.
Apa sebuah isyarat?
Atas apa yang terjadi sekarang.

Mimpiku, harapan itu.
Harapan yang dulu berprobabilitas 0,5, yang mungkin berkurang.
Ia memang beranjak dewasa menjadi 1.
Tapi, itu sebelum sore kemarin.

Kawan.
Aku baik-baik saja.
Aku bahkan bukan hanya tertawa kecil.
Aku tertawa lepas, ringan.
Sebelum sore itu.

Tak disangka, hanya sekejap.

Huruf yang bergandengan.
Menari bersama kawannya.
Menyusun kalimat yang amat lembut.
Lembut, namun menyayat.


"...lupakan saja, jangan dipikirkan. Ok!"

"Melupakan."
Kata yang sulit untukku.
Dia mestinya tahu itu.

Seperti yang pernah aku katakan, kawan.
Entah kenapa, kata itu seakan bermusuhan denganku.
Setidaknya memakan 30 hari tuk bisa berdamai dengan kata itu.

Tertawa di awal.
Terisak di tengah.
Lalu geram di akhir.

Membacanya.
Seakan mengulanginya kembali.

Aku bangga, menjadi bintang utama dalam ceritanya.
Cerita yang berasal dari mimpi.
Merefleksi menjadi nyata.
Cerita yang mungkin meraih award dalam FFI.


Kini di sekitarku, di pelataran ini.
Burung gereja yang berjingkat-jingkat, lalu terbang.
Bercengkrama satu sama lain.
Salah satu gereja membawa seutas benang oranye, kawan.
Entah untuk apa, mungkin untuk sarang mereka.
Suara mereka menggema seantero ruang waktuku.
Yang tak ada siapapun, sepi.
Layaknya aku yang kini.

Mereka pergi?
Apa mungkin mereka risih dengan kehadiranku di tengah-tengah mereka?

Ah, tak usah ku hiraukan tentang mereka.
Mereka yang membuatku sedikit tersenyum.


Kini ku kembali.
Di masa itu.
Menyaksikan aku dan dia.
Memerankan cerita itu.
Kelu, teramat sangat.


Semalam.
Sebelum ku terlelap.
Sebuah pesan singkat mengetuk kelopak mataku.
Memohon agar aku melihat penampilannya di atas panggung.
Mau tak mau, aku mengiyakan.

Itu dari dia, kawan.
Ya, pesan singkat dari dia.
Dia yang seorang pemimpi, penulis, sekaligus pemain cerita kami.

"Disini ku temani kau dalam tangismu.
Bila airmata dapat cairkan hati.
Kan ku cabut duri kering dalam hatimu.
Agar ku lihat senyum di tidurmu malam nanti."

_*****_
21:57
25/02/11


Terimakasih.
Syair yang indah kan, kawan?


Lagi.
Tertawa di awal.
Terisak di tengah.
Lalu geram di akhir.


Disini.
Aku berkawankan para saksi.
Memandang kisah lalu.
Di singgasana 42 hari yang lalu.
Singgasana perpecahan.


09:23
26/02/11

10 Racun dalam Diri

Inilah 10 racun itu.


Racun pertama:
Menghindar

Gejalanya:
Lari dari kenyataan, mengabaikan tanggung jawab, padahal dengan melarikan diri dari kenyataan, kita hanya akan mendapatkan kebahagiaan semu yang berlangsung sesaat.

Antibodinya:
Realitas

Cara:
Berhentilah menipu diri. Jangan terlalu serius dalam menghadapi masalah karena rumah sakit jiwa sudah dipenuhi pasien yang selalu mengikuti kesedihannya dan merasa lingkungannya menjadi sumber frustasi. Jadi, selesaikan setiap masalah yang dihadapi secara tuntas dan yakinilah bahwa segala sesuatu yang terbaik selalu harus diupayakan dengan keras.
 
Racun kedua:
Ketakutan

Gejalanya:
Tidak yakin diri, tegang, cemas yang antara lain bisa disebabkan kesulitan keuangan, konflik perkawinan, problem seksual, dll.

Antibodinya:
Keberanian

Cara:
Hindari menjadi sosok yang bergantung pada kecemasan. Ingatlah, 99 persen hal yang kita cemaskan tidak pernah terjadi. Keberanian adalah pertahanan diri paling ampuh. Gunakan analisis intelektual dan carilah solusi masalah melalui sikap mental yang benar. Keberanian merupakan proses reedukasi. Jadi, jangan segan mencari bantuan dari ahlinya, seperti psikiater atau psikolog.
 
 
Racun ketiga:
Egoistis

Gejalanya:
Materialistis, agresif, lebih suka meminta daripada memberi.

Antibodinya:
Bersikap sosial

Cara:
Jangan mengeksploitasi teman. Kebahagiaan akan diperoleh apabila kita dapat menolong orang lain. Perlu diketahui, orang yang tidak mengharapkan apapun dari orang lain adalah orang yang tidak pernah merasa dikecewakan.
 
Racun keempat :
Stagnasi

Gejalanya:
Berhenti satu fase, membuat diri kita merasa jenuh, bosan, dan tidak bahagia.

Antibodinya:
Ambisi

Cara:
Teruslah berkembang, artinya kita terus berambisi di masa depan kita. Kita kan menemukan kebahagiaan dalam gairah saat meraih ambisi kita tersebut.
 
Racun kelima:
Rasa rendah diri

Gejalanya:
Kehilangan keyakinan diri dan kepercayaan diri serta merasa tidak memiliki kemampuan bersaing.

Antibodinya:
Keyakinan diri

Cara:
Seseorang tidak akan menang bila sebelum berperang, yakin dirinya akan kalah. Bila kita yakin akan kemampuan kita, sebenarnya kita sudah mendapatkan separuh dari target yang ingin kita raih. Jadi, sukses berawal pada saat kita yakin bahwa kita mampu mencapainya.
 
Racun keenam :
Narsistik

Gejalanya:
Kompleks superioritas, terlampau sombong, kebanggaan diri palsu.

Antibodinya:
Rendah hati

Cara:
Orang yang sombong akan dengan mudah kehilangan teman, karena tanpa kehadiran teman, kita tidak akan bahagia. Hindari sikap sok tahu. Dengan rendah hati, kita akan dengan sendirinya mau mendengar orang lain sehingga peluang 50 persen sukses sudah kita raih.
 
Racun ketujuh :
Mengasihani diri

Gejalanya:
Kebiasaan menarik perhatian, suasana yang dominan, murung, merasa menjadi orang termalang di dunia.

Antibodinya:
Sublimasi

Cara:
Jangan membuat diri menjadi neurotik, terpaku pada diri sendiri. Lupakan masalah diri dan hindari untuk berperilaku sentimentil dan terobsesi terhadap ketergantungan kepada orang lain..
 
Racun kedelapan :
Sikap bermalas-malasan

Gejalanya:
Apatis, jenuh berlanjut, melamun, dan menghabiskan waktu dengan cara tidak produktif, merasa kesepian.

Antibodinya:
Kerja

Cara:
Buatlah diri kita untuk selalu mengikuti jadwal kerja yang sudah kita rencanakan sebelumnya dengan cara aktif bekerja. Hindari kecenderungan untuk membuat keberadaaan kita menjadi tidak berarti dan mengeluh tanpa henti.
 
Racun kesembilan :
Sikap tidak toleran

Gejalanya:
Pikiran picik, kebencian rasial yang picik, angkuh, antagonisme terhadap agama tertentu, prasangka religius.

Antibodinya:
Kontrol diri

Cara:
Tenangkan emosi kita melalui seni mengontrol diri. Amati mereka secara intelektual. Tingkatkan kadar toleransi kita. Ingat bahwa dunia diciptakan dan tercipta dengan keberagaman kultur dan agama.
 
Racun kesepuluh :
Kebencian

Gejalanya:
Keinginan balas dendam, kejam, bengis.

Antibodinya:
Cinta kasih

Cara:
Hilangkan rasa benci. Belajar memaafkan dan melupakan. Kebencian merupakan salah satu emosi negatif yang menjadi dasar dari rasa ketidakbahagiaan. Orang yang memiliki rasa benci biasanya juga membenci dirinya sendiri karena membenci orang lain. Satu-satunya yang dapat melenyapkan rasa benci adalah cinta. Cinta kasih merupakan kekuatan hakiki yang dapat dimiliki setiap orang.

Aku. Layaknya bayanganku.

Semalam, saat semua gelap.
Tak ada arus listrik.
Mungkin si empunya sedang murka.
Atau mungkin sedang berdaya humor tinggi.
Sehingga dengan seenaknya saja memutuskan aliran listrik.
Tanpa aba.

Aku yang teronggok dalam gelap.
Tersudut dalam gemericik hujan.
Mencoba merangkai huruf.
Bermain kata.
Mengaduk rasa.
Lalu memuntahkannya.

Saat itu, kenapa semua seolah kontra padaku?
Cermin mengkhianatiku.
Dipan dan lemari sepakat menjauhiku.
Buku-buku curiga akan lirikanku.
Lampu sudah lama meninggalkanku.
Tembok dan pintu berbisik membicarakanku.
Koloni katak enggan bersenandung untukku.

Aku bingung dengan mereka.
Atau aku bingung dengan diriku sendiri?
Entahlah.

Masa membawa langkahku.
Mendekati titik cahaya yang berpendar.
Di ruang belakang cahaya itu berasal.
Itu hanya cahaya lilin, kawan.

Aku dan lilin.
Kami saling pandang, mesra.
Layaknya sepasang kekasih yang bercerita akan keluh kesah.

Kulihat sosok yang tak asing.
Dia hanya titik-titik gelap.
Yang menyatu, berpegangan erat.
Membentuk sosok manusia.
Ya, itu hanya bayanganku, kawan.

Kini, diantara aku dan lilin.
Ada bayanganku.

"Sebuah cerita cinta segitiga kah?"

Oh, tentu bukan, kawan.
Kami tak ada rasa lebih antara satu dengan yang lainnya.
Kami hanya sahabat.
Sahabat imajinasi.

Bayanganku.
Kulihat engkau baik-baik saja.
Tak ada hal buruk menimpamu.
Dari atas langit, maupun dari bawah bumi.

Lambat laun, ku tetap memerhatikanmu yang diam.
Mungkin sama, kau juga memerhatikanku yang sedang memerhatikanmu.
Tak ada yang berubah dari wujudmu, pikirku.

Hanya anggukan kepalaku.
Gelengan kepalaku.
Lambaian tanganku.
Dan beberapa gerak besar lain.
Yang dapat merubah wujudmu.

Tapi kau tetap sama.
Kau tetap dingin, tanpa ekspresi.
Bagai prasasti yang tertanam amat sangat dalam.
Ketika aku tersenyum.
Tertawa.
Cemberut.
Ataupun menangis.
Kau tetap terlihat baik akan keadaanmu.

Aku, layaknya bayanganku.
Mungkin itu aku di mata kalian, kawan.
Ya, bayangan yang baik-baik saja.
Bayangan yang dingin, tanpa ekspresi itu.


05:55
24/02/11

Mutiara 2

Ketika seseorang melukai kita, kita harus menulisnya di atas pasir agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut.
Dan bila kebahagiaan terjadi kita harus memahatnya di atas batu hati kita, agar tidak bisa hilang tertiup angin.

Dalam hidup ini sering timbul beda pendapat dan konflik dengan sesama, karena sudut pandang yang berbeda.
Jadi cobalah untuk saling memaafkan dan lupakan masalah lalu.

No body's perfect.
Belajarlah menulis di atas pasir. (6)


Hentikanlah kebiasaanmu membandingkan kekuranganmu dengan kelebihan orang lain.

Janganlah pengejaran orang lain kau jadikan penentu arah hidupmu.
Janganlah juga keberhasilan orang lain menjadikanmu jiwa baik yang merasa tertinggal.

Ikhlaslah menerima diri baik-mu hari ini sebagai titik awal pertumbuhan kehebatan hidupmu sendiri.

Tuhan bersamamu dalam setiap langkahmu.
Bersama Tuhan, apa pun mungkin. (7)


Berambisilah.

Sesungguhnya, ambisimu menentukan ketinggianmu.

Orang yang membenci ambisi adalah mereka yang merasa terlukai dan direndahkan oleh
ambisi orang lain.

Pastikanlah ambisimu itu kerinduanmu untuk menjadi pribadi besar yang berwenang
memajukan kebaikan sesamamu & alam, menjadikanmu pribadi yang santun. (8)


Kekecewaan adalah kekuatan yang seharusnya menjadikan Anda berlaku lebih tegas untuk tidak dikecewakan lagi.

Jika kita ikhlas belajar dari kekecewaan kecil, kita tidak akan dipaksa merasakan pedihnya kekecewaan besar. (9)


Anda disebut percaya diri, jika Anda sering mengatakan kepada diri sendiri:
Jika gagal, minta maaf dengan jujur dan memulai lagi dengan lebih baik.

Janganlah sering membohongi diri sendiri, karena lama kelamaan diri Anda akan belajar untuk tidak mempercayai Anda.
Itulah yang disebut "tidak percaya diri." (10)




(Opini Ipa 2 On Motivation 6-10 dan C'Ujang Berulah [Lagi] episode 16-20)

Aku. Masih bisa tertawa kecil.

Ajak aku tersenyum, kawan!
Aku yang diam, membeku.
Walau hangat mentari merayuku.

Aku yang sendiri, terasing.
Walau hanya sejengkal jarakku akan kebahagiaan.

Mentari.
Memesona nian sinarmu, kala merayuku.
Tapi tak jua melelehkan gunung es-ku.

Kebahagiaan.
Kau memang menarik, amat sangat.
Tapi ku masih merasa asing akan kau, tuk saat ini.


Ajak aku tersenyum, kawan!
Aku yang bisu, terbungkam.
Saat dunia mencercaku akan pertanyaan hidup.

Aku yang menangis, pilu.
Saat sebuah komedi teronggok di hadapanku.

Pertanyaan hidup.
Memang kau ancam aku dengan beribu derita.
Tapi bisuku tak luluh olehmu.

Komedi.
Hal terlucu dari dunia yang lucu.
Kau tetap buatku menangis.


Ajak aku tersenyum, kawan!
Aku yang kalut., murka.
Saat kasih terjunjung tinggi di pelataran.

Aku yang tak acuh, bergeming.
Saat hati-hati tersentuh duriku.

Kasih.
Kau memang ada dalam jiwaku.
Tapi belum kuasai jiwaku.

Duriku.
Memang tak tajam, sungguh.
Tapi cukup untuk sekedar menyakiti.


Bodoh!
Untuk apa ku tuliskan ini semua?

Untuk meminta belas kasih?
Meminta pujian?
Atau bahkan meminta cemoohan?
Entahlah.

Aku.
Mungkin itu bukan aku.
Ya, semua itu bukan aku.

Berharap kata yang tertulis tadi.
Bukan tentangku.

Karena aku.
Masih bisa tertawa kecil kala ini.
Kala sayup semilir angin berhembus.
Kala orkestra katak berharmoni riang.
Kala huruf-huruf berpantomim lucu.

Mereka berkonspirasi.
Menculikku, lalu berkutat dalam dunia mereka.
Dunia imajinasi.


Kawan, masihkah kau bersedia tersenyum bersamaku?



22:22
21/02/2011

Memoriku. Ajak aku tersenyum!

Pagi yang dingin, dibalut mendung.
Entah mengapa mentari enggan menampakkan diri.
Bening embun yang masih menghiasi ujung daun, menambah mesra belaian angin dingin yang membuat raga ini menggigil.

Rupanya saraf sensorik telah dipacu begitu cepat oleh belaiannya.
Mengirimkan beribu sense pada otakku.
Otakku bekerja.
Mengolah.
Dan hasilnya.

Kawan, aku tak pernah menginginkannya...

"Kenapa?"

Karena hasilnya..
Nampaklah beberapa moment dari bermilyar bahkan bertriliun moment hidupku.
Moment yang telah tersimpan dalam memoriku.

Mengapa memori ini?
Mengapa tidak memori dari brankas yang lain? Masih banyak kan...

Memori ini menyiksaku...
Menyiksa perasaanku...
Akan rasa kebersalahan yang selalu nampak dalam tiap jengkal waktu...

Nampak jelas, adegan per adegan yang tampil dalam layarku.
Sungguh... seakan nyata, kawan.
Seakan kisah yang terjadi di dalamnya, kini kualami kembali.

Perlu kalian tahu, kawan.
Beberapa memori seperti ini selalu datang menjengukku.
Aku yang sendiri.
Di saat sebelum Mr. Ngantuk menjemputku, maupun di saat aku duduk atau terbaring sendirian.

Bahkan di saat aku berada dalam keramaian pun, ia pernah datang, kawan.

Sempat beberapa kali ku berpikir.
"Kenapa ingatan yang tajam ini belum bisa aku gunakan untuk menghafal beberapa ilmu yang sedang ku pelajari?
Kenapa justru hanya bisa digunakan untuk mengingat kisah-kisah yang telah lama?"

Entahlah... Aku belum bisa menemukan jawabannya.
Kalian punya jawabannya tidak, kawan?
Jika kalian punya, beri tahu aku ya!

Kisah lama memang seringkali kita harapkan untuk muncul dalam ingatan.
Tapi, itu semua diharapkan untuk membuat kita tersenyum, bukan?

Kuakui, memang kisah indah yang membuatku tersenyum pun tak jarang muncul.
Tapi tak lebih banyak frekuensinya dari kisah yang sedikit abu itu, kawan.

Memori.
Layaknya sebuah disk dalam otakku.
Menyimpan bermilyar harapan.
Harapan yang tak berujung.
Seperti yang telah ku katakan pada kalian.

Kuingin di saat ku butuh tawa, ku ambil disk berlabelkan "Cerita Lucuku".
Lalu memutarnya, sesaat kemudian tertawa, terbahak melihatnya.
Tapi itu sulit, kawan.
Setidaknya itu sulit bagiku.
Bagaimana dengan kalian, sulit tidak kawan?

Saat ku tengok ke arah kananku.
Ku lihat sosok remaja berkaos merah, dengan raut muka yang tak begitu cerah, cukup muram.
Duduk di atas ranjangnya, menuliskan sesuatu di kertasnya.

Dia memandangku.
Melemparkan sedikit senyum.
Tentu ku balas senyum itu, lebih hangat dari senyumya.
Akhirnya aku dan dia tertawa, tertawa yang tak bersuara.
Kalian bisa mempraktekkannya kan, kawan?

Bila kalian bertanya, "Siapa sih dia? Siapa sosok berkaos merah itu?"

Dia...
Dia adalah aku sendiri, kawan.
Ya. Dia adalah aku.
Ku lihat dia dari cermin di kamarku.
Ku lihat saat dia menuliskan kisah ini untuk kalian baca.

Itu juga bila kalian membaca kisah ini.
Ku rasa memang kalian sedang membacanya.
Bila tidak, tidak mungkin kalian sampai di kalimat ini.
Benar kan, kawan?

Kawan...
Dia yang tersenyum.
Dia yang tertawa tanpa suara.
Dia yang menuliskan kisah.

Itu pun akan masuk dalam disk-ku.
Disk-ku yang berlabelkan,
"Saat-saat aku menuliskan kisah bodoh yang ternyata dibaca oleh orang-orang yang tersesat yang kemungkinan tidak mempunyai kerjaan, jadi iseng-iseng membaca sebuah tulisan. Eh... tidak terduga tulisan bodoh ini yang terbaca. Lalu para pembaca itu mulai merasakan betapa bodohnya label disk-ku ini."

Bila kalian berpikir, "Panjang yah?"

Heft. Itu hanya kerjaan seseorang yang kehabisan bahan untuk ditulis, kawan.
Orang yang menulis label tadi memang aneh.
Perlu kalian tahu itu, kawan.

Bila kalian masih bertanya, "Jadi apa label yang sebenarnya?"

Cukup singkat.

"Mencoba tersenyum."

Ya. Karena itu yang sedang ku usahakan.
Mencoba tersenyum di setiap masaku.
Mencoba memenuhi memoriku dengan senyuman yang indah.
Ku harap itu kulakukan bersama kalian, kawan.
AJAK AKU TERSENYUM!!!


17/02/2011

Dalam Puisi Chairil Anwar

Lihatlah aku, Jiwaku.
Aku telah menikmati hidupku dengan memperhatikan ajaran-ajaranmu.
Pikirkan bagaimana Aku menderita!
Aku telah merasa lelah mengikutimu.
Hatiku mengagungkan diatas tahta,
namun sekarang terpuruk dalam perbudakan.
Kesabaranku adalah teman,
namun kini berperang melawanku.
Masa mudaku adalah harapan,
namun kini menegur kelalaianku.

Pesisir yang kuat adalah cintaku.
Dan aku adalah kekasihnya.
Kami akhirnya bersatu dalam cinta.
Lalu bulan mengambilku darinya.
Aku pergi ke bulan dengan enggan.
Dan dengan sedikit perpisahan.
Aku dengan cepat mencuri dari belakang horizontal.
Untuk melemparkan buih perakku di atas pasir emas.
Dan kami bercampur dalam kecerdasan.
Aku memuaskan dahaganya dan menyelami hatinya.
Ia melembutkan suaraku dan sifatku.
Dalam fajar aku mengumandangkan peraturan cinta dalam telinganya
dan ia memelukku dengan erat.

Mutiara 1

Tetapkanlah target dalam hidupmu secara S.M.A.R.T !!
(Specific, measurable, attainable, realistic, and timely). (1)


Pernahkah kamu berkata "Mengapa saya?" ketika mendapat suatu hal yang buruk?

Kawan, sadar atau tidak, kerap kali kita merasa hanya pantas menerima hal-hal baik dalam hidup ini; kesuksesan, kesehatan.

Ketika yang kita terima justru hal sebaliknya, kita menganggap Tuhan tidak adil.
Sehingga kita merasa berhak untuk menggugat Tuhan.

Cerminan hidup beriman; tetap teguh dalam pengharapan, pun bila beban hidup menekan berat.
Ketika menerima sesuatu yang buruk ingatlah saat-saat ketika kita menerima yang baik. (2)


Dalam 1 tandan pisang, tak semua buahnya matang serentak bukan?
Pisang yang telah matang dan yang belum, kelak akan memiliki rasa yang sama yaitu rasa pisang, meski mebutuhkan waktu yang berbeda.

Begitupun kita, dalam hidup ini tak seorangpun sempurna pada bingkai kemampuannya.
Karena diantara kita tidak sama dan serupa, dan hal lain yang berbeda.

Sungguh tak ada yang sempurna diantara kita, maka janganlah rendah diri
..semua butuh proses untuk menjadi lebih baik.. (3)


Lingkungan Anda mencerminkan harga Anda.
Lingkungan berbicara tentang relationship.

Apabila Anda berada dilingkungan yang bisa mengeluarkan hal terbaik dari diri Anda maka Anda akan menjadi cemerlang.

Tapi bila Anda berada dilingkungan yang meng-kerdil-kan diri Anda, maka Anda akan menjadi kerdil.

[orang yang sama, bakat yang sama, kemampuan yang sama] + lingkungan yang berbeda = NILAI YG BRBEDA. (4)


Ketika kamu merasa lelah dan kecewa, ketahuilah bahwa saat itu kamu tengah belajar tentang KESUNGGUHAN.

Ketika kamu merasa hatimu sangat terluka, ketahuilah bahwa saat itu kau tengah belajar tentang MEMAAFKAN. (5)


(Opini Ipa 2 On Motivation 1-5 dan C'Ujang Berulah [Lagi] episode 12-15)

Mimpiku. Harapan yang tak berujung

Harapan.

Apa yang ada dalam benak kalian tentang harapan, kawan?
Ya. Sebuah ketidakpastian.
Harapan mempunyai nilai probabilitas 0,5.
Bisa terjadi pada suatu saat dan bisa saja tidak terjadi sama sekali.

Jika kalian berpikir, “Kenapa kamu berbicara tentang harapan?”

Aku akan menjawab.
Karena aku sedang selalu ada di dalam naungannya.

Aku akan bercerita sedikit mengenai hari ini dalam hidupku, kawan.

Pagi tadi, saya terbangun dari tidur seperti biasa.
Tapi yang tidak biasa adalah sesaat sebelum bangun dari tidur itu, kawan.
Aku bermimpi!

“Hah? Mimpi? Itu hal biasa kan? Semua orang juga mengalaminya, bukan?”

Ya. Semua orang juga pasti pernah bermimpi.
Perlu kalian tahu.
Mimpi ini cukup membuatku tersenyum walau sejenak.
Dan hal ini yang mengawali hari-ku dengan harapan.
Harapan yang berprobabilitas 0,5 itu, kawan.
Nah, maka dari itu aku berbicara tentang harapan.

Kalian ingin tahu mimpiku, kawan?
Apa?
Tidak?
Yaaaahhh………  :(

Iya saja sih, kawan…
Ayolah…
Apa?
Iya?
Hoorreeee……… :)

Baiklah karena kalian memaksaku untuk meceritakannya. Aku akan menceritakannya, kawan.

Mimpiku.
Yang mempunyai penuh harapan itu berkisah tentang aku dan dia.
Dia adalah sahabatku.
Ya. Setidaknya itu anggapanku kepada dia.
Aku tak tahu, dia anggap apa aku ini.
Apakah sama sepertiku, “Sahabat”?
Atau hanya “Teman”?
Haah…. Entahlah…

Kembali lagi ke mimpiku.

Disana… aku.. yang sedang membaca sebuah pesan singkat, tersenyum.
Bahagia teramat sangat.
Pesan singkat yang berisi kalimat permohonan maaf.

Ya. Permohonan maaf dari dia.
Tapi bukan isinya yang penting bagiku, melainkan pengirimnya. Tentu saja.

Tapi masih saja menyebalkan.
“Kenapa?”

Pesan singkat.
Arti dari pesan singkat itu tentu saja pesan yang dipadatkan, tanpa bertele-tele kan, kawan?
Nah, ini…
Pesan itu sungguh amat sangat terlalu panjang sekali, kawan.

Bila kalian bertanya kepadaku, “Bisa tolong tuliskan isi pesan itu!”

Aku angkat tangan.
Mengibarkan bendera putih.

“Kenapa?”

Karena selain pesan itu sungguh amat sangat terlalu panjang sekali, itu semua juga hanya dalam mimpi, kawan.
Sebuah bunga tidur.
Mana mungkin aku bias mengingat semuanya dengan jelas.
Kurasa semua orang juga tidak akan mungkin bisa mengingat semua isi mimpi mereka.

“Sudah kan isi mimpinya?”

Ya. Sudah, kawan.
Karena hanya itu yang ingin aku ceritakan pada kalian tentang mimpiku.
Mimpiku, awal harapanku hari ini.
Harapan yang masih belum terwujud.

Kawan.
Seperti biasa sekitar pukul 08.00 – 10.00 WIB aku menyebarkan pesan singkat yang berisi kalimat-kalimat yang menurutku adalah kalimat motivasi.
Entahlah menurut orang lain.
Aku mengirimkannya ke semua teman-temanku sekelas saat ini dan teman tingkat 12 dulu.

Saya tidak akan membahas isi pesan itu. Karena kurasa kalian juga tidak mau tahu itu, bukan?
Kalian tahu, kawan?
Tidak ada respon dari dia.
Ya. Dia yang tadi ada dalam mimpiku.
Entah mengapa, mungkin dia sibuk dengan karya-karyanya.
Biasanya dia selalu membalasnya, kawan.

Aku menelan kepahitan akan mimpiku. Justru dari mimpi yang manis,

Bila kalian berpikiran, “Seberapa penting sih dia bagi kamu? Sehingga kamu bisa jadi seperti itu?”

Sahabat.
Bagiku. Sahabat amat sangatlah penting.
Tapi tidak lebih penting dari orang tua dan keluarga. Tentu tidak lebih penting juga dari diri sendiri.

Entah mengapa, aku merasa dia begitu dekat.

Kawan, sampai detik ini.
Detik di saat aku menulis untaian kalimat-kalimatyang keluar dari rongga jiwaku.
Mengalir melalui darah.
Memerintahkan para otot.
Lalu menarilah jari-jariku di atas kertas A4 lusuh ini.
Tinta hitam itu menorehkan isi hatiku.
Isi hati seorang yang masih mempunyai harapan.
Harapan yang mungkin tidak lagi berprobabilitas 0,5, mungkin berkurang banyak.

Tahukah kalian, kawan?
Setiap kali telepon genggamku berdering, entah itu pesan singkat ataupun telepon.
Saat itu asaku melambung, menari bersama peri. Diiringi nyanyian First – Snowy wish ataupun Super Junior – Angel.
Ku berharap itu dia.

Heft.
Tapi kawan, semua sirna, lenyap, saat yang muncul bukan namanya.

Mungkin kalian berpikir, “kamu terlalu mendramatisir harimu!”

Apapun anggapan kalian.
Pikiran apapun yang terlintas dalam benak kalian tentangku.

Itu memang hariku!
Itu kisahku!
Itu perasaanku!

Untuk mengakhiri catatan kecilku ini, yang mungkin tak mempunyai nilai bagi kalian.
Aku hanya ingin mengatakan pada kalian.

“Aku masih berharap mimpiku menjadi kenyataan.”


22:19
16/02/2011