twitter

Pelukan Di Bawah Hujan


-hRu-
Mei’2011


Debu menjadi sahabatku kini. Remang cahaya menggores secuil kulit ariku. Meresap dalam asa yang seakan terkhianati. Aku kesepian, menanti hati yang hendak mewarnaiku. Rajesh Putra Adhyaksa, ukiran di atas kartu mahasiswa berwarna biru tua yang lusuh. Terpampang wajah yang berseri, meski buram. Tapi kala ini wajahku tak berseri. Pikiranku kacau, hanya tertuju pada satu nama dan wajah seseorang. Bertumpuk-tumpuk buku mendendangkan harmoni klasik dari para empu rumus alam. Rasa ini semakin dalam, menggerogoti ruang pikiranku. Remaja labil? Mungkinkah aku masih bisa dikatakan remaja labil? Usiaku hampir menginjak 20 tahun. Setidaknya itu yang tertulis di atas putih.
*******
Ini tahun pertamaku di universitas yang bisa dikatakan termahsyur, setidaknya termahsyur di kota kecil yang telah membesarkanku. Maya Almira, ia satu tingkat denganku, ia seorang gadis yang katanya menjadi salah satu idola semasa SMA-nya. Kami berkenalan di hari pertama kami kuliah. Senyum manis yang terlayangkan dari wajah mungilnya itu membuatku merasa seakan kami telah saling mengenal satu sama lain, di kehidupan yang lalu. Mata sayunya seakan mengajak insan yang menatapnya masuk dalam mimpi para penghuni surga.
“Maya... kamu siapa?” ucapnya seraya menyodorkan lengannya dengan senyuman manis yang semakin menghiasi paras ayunya.
“Rajesh...” jawabku, singkat.
Pertemanan kami lambat laun semakin akrab. Handphoneku kini tiap harinya selalu terpampang nama gadis berkulit langsat itu. Entah racun apa yang telah menyebar dalam aliran darahku. Mungkin racun para dewa Yunani, yang dibuat dari rempah langka, yang diperoleh melalui perhelatan mahadahsyat, dibuat oleh para penyihir ghaib nan murka. Yang jelas aku merasa nyaman dan ingin terus menjalin komunikasi dengannya.
“Kak, aku ingin sedikit bercerita, boleh kan?”
“Ya silakan saja... tidak ada yang melarang kok.”
“Ya barangkali Kakak tidak mau mendengar cerita yang kurang penting ini,” ujar Maya dilanjutkan juluran lidahnya.
Aku hanya tersenyum. Lalu mengajaknya duduk di bangku taman. Ia banyak bercerita, bercerita tentang beberapa anak laki-laki yang tak ada hentinya mengejarnya. Mereka tak pernah kehabisan asa untuk mendapatkan cinta gadis yang kini menganggapku kakak. Dan ia pun menceritakan satu sosok yang ia kagumi. Sayangnya ia tak mendapatkan respon balik dari Radithya Mahesa, ya itu nama anak laki-laki itu. Bertepuk sebelah tangan, mungkin. Tapi siapa yang tahu, mungkin di balik sikap dingin Radith ada nada-nada merah jambu yang ia sembunyikan pada Maya. Mungkin ia hanya berdrama dalam dunia yang terlalu rapuh ini. Lalu ia seolah di atas awan, menerima permohonan gadis suci yang tak berdaya dibuai angin cintanya, memohonan untuk bersanding di singgasananya yang berhias permata dari dasar samudera, samudera yang telah dijaga ribuan naga mitos. Lalu bosan, dan dengan seenaknya ia mencampakan cinta gadis itu. Ah, pikiranku mulai kotor, menerka-nerka tentang apa rencana yang disusun Radith. Begitulah seorang Rajesh Putra Adhyaksa, imajinasinya terlalu berlebihan, melampaui segenggam otak yang bersarang di kepalanya.
Berderet-deret hari sudah terlewati dari hari dimana matahari tak terlalu kejam menyengat kulit ari, awan yang berarak, daun kering yang mendesah, bangku yang tegar menahan beban dua manusia, dan sepasang mata yang terlumuri cermin. Kini Maya semakin membuka hatinya untukku, untuk kubaca bertumpuk cerita yang kian hari kian lusuh dan terlupakan. Ia semakin memercayaiku. Dan begitupun sebaliknya.
Kakak beradik itulah anggapan kami akan hubungan yang sedang kami jalani. Tapi mungkin bagi para penonton yang bersorak-sorai di sekitar panggung, ungkapan itu tak berlaku. Itu karena kami terlihat layaknya sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Sepasang sandal, tinta - bolpoin, itu yang mereka gelarkan untuk kami. Kami hanya tersenyum menyambut ungkapan yang keluar dari bibir-bibir mereka.

Sayang, aku rindu kamu...
Apa di kehidupan mendatang kita akan bersatu?
Memadu cinta melampaui langit ketujuh
Berseri memandang pancaran air surga yang teramat sejuk
Putrimu...

SMS dari Maya membangunkanku dari mimpiku tentangnya. Kami memang sering mengisi SMS kami dengan puisi-puisi sepasang kekasih, tapi itu hanya sekadar gurauan belaka. Gurauan antara adik dan kakak. Entah setan apa yang telah merasuk dalam jiwa ini, ia menguasai pikiranku. Mengajak Maya masuk ke dalam dunia imajinasiku, imajinasi tentang pangeran dan putrinya yang sedang menjalin asmara.

Nyanyianmu membuatku bangkit dari mimpiku tentangmu, Sayang...
Di kehidupan mendatang?
Ya. Tentu kita akan bersatu kembali
Tapi sungguh, aku tak menggenggam surga untukmu
Aku hanya menggenggam dunia yang fana untukmu
Pangeranmu...

Tak apa... aku tak butuh surga itu
Aku... hanya butuh uluran tanganmu
Tuk berjanji setia berjalan melewati sungai kasih
Putrimu...

Ya Sayang... aku kan berjanji setia
Lanjutkan hidupku bersamamu
Cintaku kan ku benamkan dalam ruang kosong dalam hatimu
Ku kunci dengan sihir para dewa
Pangeranmu...

Hari ini aku berjanji padanya untuk bertemu di taman. Ada hal yang akan disampaikannya kepadaku, itu katanya. Maka bergegaslah aku menuju taman. Tapi hari ini nampak matahari tak bersahabat, ia muram, tak bersinar dengan ceria seperti hari terakhir kali aku dan Maya bertemu di taman tempo lalu. Bahkan para awan hitam muntab, berarak menuju taman, seperti para prajurit yang hendak menyerang benteng lawan.
Tak lama, aku telah berjumpa dengan Maya di sore yang semakin gelap ini.
“Ada apa tiba-tiba mengajak bertemu? Kangen ya?” tanyaku.
“Hemmm... mungkin. Tapi kelihatannya Kakak yang kangen tuh... mengaku sajalah...” ledek Maya padaku.
“Iya, Kakak kangen setan cantik yang satu ini... haha...”
Maya mencubit pipiku dengan gemas, lalu ia mulai mengajakku untuk duduk di bangku. Wajahnya yang tadi dihiasi senyum, kini mulai menampakkan keseriusan. Ia mulai bercerita tentang reuni kelas semasa SMA-nya pada 2 hari yang lalu. Wajahnya semakin muram saat ia menyebutkan satu nama. Radith, nama itu terlontar dari bibir mungilnya dengan sangat getir.
 “Radith sudah punya pacar, Kak...” lirihnya.
Bersamaan dengan kalimat yang membuat gadisku rapuh, muntahlah langit sore ini. Hujan mengguyur kami yang tak bersiap dengan hujamannya. Aku langsung mengajaknya untuk segera berteduh, tapi ajakan itu ditampiknya.
“Biarkan hujan ini melunturkan sedihku. Menyamarkan airmataku, dan membawanya ke dasar bumi. Biarkan aku disini, Kak.”
“Tapi...”
Telunjuknya yang lemah langsung menempel di bibirku, menahan kalimat yang hendak ku lontarkan. Matanya seperti hendak mengatakan “tolong jangan bicara lagi” saat menatap mataku. Tanpa aba-aba, tanpa ada kata, tubuh layunya mendekapku. Memelukku erat, hampir aku tak bisa bernafas dibuatnya. Tapi entah mengapa pelukan itu membuat darahku berdesir, jantungku berdegup tak keruan, hatiku berdebar tak keruan pula. Pikiranku melayang dibawa para peri kecil ke taman surga. Seolah ada ribuan cahaya menerpaku. Seolah ada pelangi tersenyum padaku.
“Rasa apa ini? Mungkinkah ini cinta? Tidak. Aku tak boleh mencintainya!” batinku.
Bibirnya seperti melafalkan beberapa rangkai kata saat wajahnya berhadapan dengan wajahku, teramat lemah nadanya. Hingga tak terdengar sedikitpun. Mungkin karena hujan yang terlalu deras, atau mungkin karena telingaku yang berkurang kepekaannya karena pelukan ini. Ia mencoba mengatakannya berkali-kali, tapi hasilnya nihil. Aku sama sekali tak dapat mengeja untaian kata yang dibawakannya, dan ia pun semakin lemah.
Kini ia memelukku kembali, semakin erat, semakin mesra. Dan aku kini mengimbangi pelukannya. Pelukan yang nyaman, pelukan yang menghangatkan dua tubuh ini. Pelukan di bawah dinginnya hujan yang menerkam. Diiringi angin yang menggetarkan raga. Dinaungi langit yang kian mencekam. Harmoni kasih dalam selimut murka. Indah untuk hati pemuda yang kesepian ini.
“Tuhan, tolong jangan biarkan aku mencintai adikku ini...”


Bisa juga dilihat di sini

Mutiara 10

Ada saatnya kita harus mengakui kesalahan kita.
Jika kita menyembunyikannya, hanya akan menjadi beban.(46)


Semuanya akan indah pada waktunya, jika belum indah berarti itu belum waktunya.(47)


Hidupmu akan lebih baik ketika berhenti membandingkan dirimu dengan orang lain,
karena yang harus kamu bandingkan adalah dirimu yang lalu.(48)


Jangan iri atas mereka yang terlihat selalu bahagia,
karena semua orang punya kesedihan.
Hanya saja mereka pintar menyembunyikannya.(49)


Pribadi baik bukanlah yang hanya belajar dari pengalaman sendiri, tetapi yang mampu dan mau belajar dari pengalaman orang lain.(50)



(C'Ujang Berulah [Lagi] episode 56-60)

Mutiara 9

Penyesalan terbesar bukan karena kegagalan atau kesalahan,
namun bila kamu tidak pernah melakukan apapun.(41)


Apapun yang terjadi, bersyukurlah.
Karena apapun yang membuatmu tersenyum, membuatmu kuat.
Apapun yang membuatmu menangis, membuatmu lebih kuat.(42)


Keluarga tidak selalu hanya terbatas dalam hubungan darah.
Keluarga adalah dimana Kamu memberikan dan diberikan kasih sayang.(43)


Hidup itu seperti permainan bola.
Harus ada yang mengendalikannya.
Dan pusat untuk mengendalikan dirimu adalah 'hatimu'.(44)


Sesuatu yang dimulai dengan kebaikan akan menghasilkan kebaikan.
Namun bila akhirnya belum baik,
maka itu bukanlah akhir.(45)



(C'Ujang Berulah [Lagi] episode 50-55)