twitter

Kisah Lalu

-hRu-
Maret'2011





Sajak, memang indah
Kelembutannya, membuaikan nyawa anak adam 
Meronakan pipi 
Melengkungkan bibir 
Mengalirkan airmata 
Memercikkan amarah 
Sajak, lembut namun menyayat



Haziq, pagi ini ia terduduk di depan ruang kuliah di lantai 3. Ia sedang menulis sebuah catatan tentang dirinya dan sahabatnya, sahabat yang baru beberapa bulan ia kenal. Kata-kata berderak mengikuti alunan jemari kurusnya, bagaikan sang maestro memimpin simfoni, mengisahkan hari yang tak mungkin terulang.

Mahasiswa Matematika FMIPA UNY ini teringat akan satu kisah yang sempat membuat ia down. Haziq mengingatnya kembali setelah ia membaca satu catatan sahabat satu kelasnya, Nadim, yang menceritakan kisah itu dalam bentuk lain.

Haziq membacanya sore kemarin, ketika ia bermalas-malasan di kamar bercat pink-nya itu, ketika samar-samar sinar jingga menggerayangi seisi kamar, keseharian Haziq yang tidak patut ditiru. Lalu secara tak sengaja ia membaca sebuah cerita pendek tentang dia, sontak Haziq terkejut dengan isi ceritanya. Ekspresi tertawa mengawali mimik mukanya, lalu diikuti sedu sedan, dan diakhiri amarah yang meluap sesaat setelah selesai membaca kalimat-kalimat yang telah tersusun amat sangat baik itu.

Di lantai 3, awal retaknya kisah antara Haziq dan Nadim, di waktu yang sama, pukul 9 pagi. Haziq berkawankan para gereja yang bersenda gurau, mengulang kembali kisah masa lampau dalam benaknya.



*******

Seperti biasa, Mifdhal Haziq Chalili pagi itu berjalan menuju Jalan Colombo, kampus tercintanya, UNY. Dengan raut wajah yang tak enak dipandang, semua orang pasti menyesal melihat mukanya pagi itu, Haziq menyusuri jalanan dengan sesekali memerhatikan aktivitas orang-orang yang ia lihat di tepi jalan. Langkah gontainya larut dalam remang pepohonan, berlindung dari mata sang logam terbang yang seakan hendak merudalinya secara tragis.

Memasuki mulut gerbang, Haziq disambut senyuman beberapa patung berupa simbol-simbol yang menurut pemikiran Haziq, mungkin itu simbol mistis kampusnya. Tak mau kalah, air mancur depan gedung Rektorat pun mengajaknya berdansa di hari yang cerah itu, namun Haziq tak menghiraukannya.

Pukul 8, Haziq tiba di ruang di lantai 3 yang berlantaikan keramik putih. Ia sendiri, tak ada satu orang pun pagi itu. Sesaat kemudian jemarinya telah lincah menggoreskan bolpoin pada kertas putihnya. Lengkung, lurus, titik-titik, membentuk sebuah gambar lucu. Haziq layaknya anak TK saat itu, gambar yang ia buat sama sekali jauh dari kata 'bagus'. Pada saat yang tak terduga, muncullah sosok yang mengagetkan Haziq. Sosok tinggi, kurus, berkulit gelap, dengan rambut seperti habis tersetrum ribuan volt, menyapanya yang sedang khusyuk menggambar.

"Hai, Mas Haz!" sapa pemuda dengan logat jawa yang kental, pemuda yang tak lain dan tak bukan ialah Nadim Mufazzal.

"Hai... eeu.. lg apa dek?" jawab Haziq dengan agak tergesa sambil tangannya cekatan merapikan lembaran gambarnya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Gak lagi apa-apa, mas."

Obrolan ringan mereka begitu singkat, keduanya kini terdiam di kedudukan masing-masing. Namun, beberapa saat kemudian semua berubah, langit seolah mendung, waktu seakan memusuhi mereka, setelah Haziq mengirimkan pesan singkat kepada Nadim sebagai Azra dan mengakui bahwa Azra ialah ia sendiri.

Azra Auliya, sosok perempuan maya karya seorang pemuda yang memiliki tingkat imajinasi cukup gila. Ternyata sosok Azra-lah yang membuat sikap Haziq selama ini sedikit berubah, ia jadi lebih pemurung. Itu karena Haziq merasa bersalah dan tak tahu bagaimana mengakhirinya. Bagai berada di zona labirin, tak jelas dimana ujung menantinya.

Kini, Nadim pergi meninggalkan Haziq sendiri di lantai 3 itu dengan membawa kekecewaan. Haziq hanya terpaku memandang punggung pemuda bervest rajut itu melangkah menjauhinya perlahan.



Matahari telah bertahta di barat saat mereka menyelesaikan pelajaran di luar jadwal perkuliahan. Nadim mengajak Haziq menuju lantai 2, disanalah akhir kisah mereka hari itu, puncak keretakan persahabatan mereka.

Membisu, itu yang Haziq lakukan saat beribu kata bertubi-tubi menjejali telinganya, ribuan kata terlempar dari mulut Nadim yang meracau sedari tadi. Haziq mematung menerima rasa kebersalahannya saat Nadim menumpahkan segala kekesalannya. Lalu Nadim mengakhiri penghakimannya atas Haziq dengan senyum dan ajakan pulang bersama. Haziq masih saja terdiam, hanya sesekali ia tersenyum dan itu pun hampa. Berjalanlah dua mahasiswa kurus diantara angin yang mendayu menghias jingganya sore. Lenyap perlahan, ditelan derik ranting-ranting rapuh nan gugur.

*******



Haziq tak merasakan pipinya telah terusap airmata saat mengingat kembali kisah tadi. Dan ia tak merasa pula bahwa ia telah merampungkan catatannya yang sedikit kumal. Senyum kini menghampirinya, Haziq tersenyum sendiri tanpa berkawan lagi. Karena para gereja telah tak setia, meninggalkannya di ruang yang hanya terhuni bangku.

Perkuliahan hari ini segera dimulai, Haziq bergegas dengan gerak seribu langkahnya, layaknya flash, menuju ruang kuliah.

"Oh My God! Dosen udah masuk... mana wali dosen lagi." ujar Haziq melihat wali dosennya terpampang di depan kelas.
Beruntunglah belum lama ia terlambat, jadi ia masih bisa masuk kuliah.

Walau sudah lampau, tapi kini Haziq merasakan atmosfer yang sama seperti di hari kisah mereka dulu. Haziq segan untuk menyapa Nadim, ia hanya bisa memandang Nadim yang duduk di sisi kanan depannya yang tertawa kecil di sela-sela waktu. 



Senyummu, terlihat tapi tak terasa 
Hangatnya sahabat, seolah enggan berjumpa denganku 
Apa karena aku telah tak menepati janji? 

Sungguh, memang ku bersalah 
Banyak kawan disini, tapi ku merasa sendiri 
Banyak tawa disini, tapi tak ada yang menyusup ke ranah jiwaku

0 komentar:

Posting Komentar