twitter

Aku, mimpiku, dan memoriku.

Denting jam terdengar amat lantang, tadi malam.
Berteman gelap dan bersahabat sepi.
Aku.
Kembali memutar memoriku.
Memori abu itu, kawan.


Mimpiku, 2 hari kemarin.
Tentangnya.
Apa sebuah isyarat?
Atas apa yang terjadi sekarang.

Mimpiku, harapan itu.
Harapan yang dulu berprobabilitas 0,5, yang mungkin berkurang.
Ia memang beranjak dewasa menjadi 1.
Tapi, itu sebelum sore kemarin.

Kawan.
Aku baik-baik saja.
Aku bahkan bukan hanya tertawa kecil.
Aku tertawa lepas, ringan.
Sebelum sore itu.

Tak disangka, hanya sekejap.

Huruf yang bergandengan.
Menari bersama kawannya.
Menyusun kalimat yang amat lembut.
Lembut, namun menyayat.


"...lupakan saja, jangan dipikirkan. Ok!"

"Melupakan."
Kata yang sulit untukku.
Dia mestinya tahu itu.

Seperti yang pernah aku katakan, kawan.
Entah kenapa, kata itu seakan bermusuhan denganku.
Setidaknya memakan 30 hari tuk bisa berdamai dengan kata itu.

Tertawa di awal.
Terisak di tengah.
Lalu geram di akhir.

Membacanya.
Seakan mengulanginya kembali.

Aku bangga, menjadi bintang utama dalam ceritanya.
Cerita yang berasal dari mimpi.
Merefleksi menjadi nyata.
Cerita yang mungkin meraih award dalam FFI.


Kini di sekitarku, di pelataran ini.
Burung gereja yang berjingkat-jingkat, lalu terbang.
Bercengkrama satu sama lain.
Salah satu gereja membawa seutas benang oranye, kawan.
Entah untuk apa, mungkin untuk sarang mereka.
Suara mereka menggema seantero ruang waktuku.
Yang tak ada siapapun, sepi.
Layaknya aku yang kini.

Mereka pergi?
Apa mungkin mereka risih dengan kehadiranku di tengah-tengah mereka?

Ah, tak usah ku hiraukan tentang mereka.
Mereka yang membuatku sedikit tersenyum.


Kini ku kembali.
Di masa itu.
Menyaksikan aku dan dia.
Memerankan cerita itu.
Kelu, teramat sangat.


Semalam.
Sebelum ku terlelap.
Sebuah pesan singkat mengetuk kelopak mataku.
Memohon agar aku melihat penampilannya di atas panggung.
Mau tak mau, aku mengiyakan.

Itu dari dia, kawan.
Ya, pesan singkat dari dia.
Dia yang seorang pemimpi, penulis, sekaligus pemain cerita kami.

"Disini ku temani kau dalam tangismu.
Bila airmata dapat cairkan hati.
Kan ku cabut duri kering dalam hatimu.
Agar ku lihat senyum di tidurmu malam nanti."

_*****_
21:57
25/02/11


Terimakasih.
Syair yang indah kan, kawan?


Lagi.
Tertawa di awal.
Terisak di tengah.
Lalu geram di akhir.


Disini.
Aku berkawankan para saksi.
Memandang kisah lalu.
Di singgasana 42 hari yang lalu.
Singgasana perpecahan.


09:23
26/02/11

0 komentar:

Posting Komentar