twitter

Memoriku. Ajak aku tersenyum!

Pagi yang dingin, dibalut mendung.
Entah mengapa mentari enggan menampakkan diri.
Bening embun yang masih menghiasi ujung daun, menambah mesra belaian angin dingin yang membuat raga ini menggigil.

Rupanya saraf sensorik telah dipacu begitu cepat oleh belaiannya.
Mengirimkan beribu sense pada otakku.
Otakku bekerja.
Mengolah.
Dan hasilnya.

Kawan, aku tak pernah menginginkannya...

"Kenapa?"

Karena hasilnya..
Nampaklah beberapa moment dari bermilyar bahkan bertriliun moment hidupku.
Moment yang telah tersimpan dalam memoriku.

Mengapa memori ini?
Mengapa tidak memori dari brankas yang lain? Masih banyak kan...

Memori ini menyiksaku...
Menyiksa perasaanku...
Akan rasa kebersalahan yang selalu nampak dalam tiap jengkal waktu...

Nampak jelas, adegan per adegan yang tampil dalam layarku.
Sungguh... seakan nyata, kawan.
Seakan kisah yang terjadi di dalamnya, kini kualami kembali.

Perlu kalian tahu, kawan.
Beberapa memori seperti ini selalu datang menjengukku.
Aku yang sendiri.
Di saat sebelum Mr. Ngantuk menjemputku, maupun di saat aku duduk atau terbaring sendirian.

Bahkan di saat aku berada dalam keramaian pun, ia pernah datang, kawan.

Sempat beberapa kali ku berpikir.
"Kenapa ingatan yang tajam ini belum bisa aku gunakan untuk menghafal beberapa ilmu yang sedang ku pelajari?
Kenapa justru hanya bisa digunakan untuk mengingat kisah-kisah yang telah lama?"

Entahlah... Aku belum bisa menemukan jawabannya.
Kalian punya jawabannya tidak, kawan?
Jika kalian punya, beri tahu aku ya!

Kisah lama memang seringkali kita harapkan untuk muncul dalam ingatan.
Tapi, itu semua diharapkan untuk membuat kita tersenyum, bukan?

Kuakui, memang kisah indah yang membuatku tersenyum pun tak jarang muncul.
Tapi tak lebih banyak frekuensinya dari kisah yang sedikit abu itu, kawan.

Memori.
Layaknya sebuah disk dalam otakku.
Menyimpan bermilyar harapan.
Harapan yang tak berujung.
Seperti yang telah ku katakan pada kalian.

Kuingin di saat ku butuh tawa, ku ambil disk berlabelkan "Cerita Lucuku".
Lalu memutarnya, sesaat kemudian tertawa, terbahak melihatnya.
Tapi itu sulit, kawan.
Setidaknya itu sulit bagiku.
Bagaimana dengan kalian, sulit tidak kawan?

Saat ku tengok ke arah kananku.
Ku lihat sosok remaja berkaos merah, dengan raut muka yang tak begitu cerah, cukup muram.
Duduk di atas ranjangnya, menuliskan sesuatu di kertasnya.

Dia memandangku.
Melemparkan sedikit senyum.
Tentu ku balas senyum itu, lebih hangat dari senyumya.
Akhirnya aku dan dia tertawa, tertawa yang tak bersuara.
Kalian bisa mempraktekkannya kan, kawan?

Bila kalian bertanya, "Siapa sih dia? Siapa sosok berkaos merah itu?"

Dia...
Dia adalah aku sendiri, kawan.
Ya. Dia adalah aku.
Ku lihat dia dari cermin di kamarku.
Ku lihat saat dia menuliskan kisah ini untuk kalian baca.

Itu juga bila kalian membaca kisah ini.
Ku rasa memang kalian sedang membacanya.
Bila tidak, tidak mungkin kalian sampai di kalimat ini.
Benar kan, kawan?

Kawan...
Dia yang tersenyum.
Dia yang tertawa tanpa suara.
Dia yang menuliskan kisah.

Itu pun akan masuk dalam disk-ku.
Disk-ku yang berlabelkan,
"Saat-saat aku menuliskan kisah bodoh yang ternyata dibaca oleh orang-orang yang tersesat yang kemungkinan tidak mempunyai kerjaan, jadi iseng-iseng membaca sebuah tulisan. Eh... tidak terduga tulisan bodoh ini yang terbaca. Lalu para pembaca itu mulai merasakan betapa bodohnya label disk-ku ini."

Bila kalian berpikir, "Panjang yah?"

Heft. Itu hanya kerjaan seseorang yang kehabisan bahan untuk ditulis, kawan.
Orang yang menulis label tadi memang aneh.
Perlu kalian tahu itu, kawan.

Bila kalian masih bertanya, "Jadi apa label yang sebenarnya?"

Cukup singkat.

"Mencoba tersenyum."

Ya. Karena itu yang sedang ku usahakan.
Mencoba tersenyum di setiap masaku.
Mencoba memenuhi memoriku dengan senyuman yang indah.
Ku harap itu kulakukan bersama kalian, kawan.
AJAK AKU TERSENYUM!!!


17/02/2011

0 komentar:

Posting Komentar